Salafi atau Salafiyah
adalah sebutan untuk kelompok atau paham keagamaan yang dinisbatkan
kepada Ahmad Taqiyuddin Ibnu Taimiyah ( 661 H-728 H) atau yang sering
dikenal dengan panggilan Ibnu Taimiyah. Salafi atau Salafiyah itu sering
dipahami sebagai gerakan untuk kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah
Rasulullah Saw. beserta para Sahabat beliau.
Wahabi atau Wahabiyah
adalah sebutan untuk kelompok atau paham keagamaan yang dinisbatkan
kepada pelopornya yang bernama Muhammad bin Abdul Wahab (1702 M-1787 M/
1115 H-1206 H). sebetulnya, nama Wahabi ini tidak sesuai dengan nama
pendirinya, Muhammad, tetapi begitulah orang-orang menyebutnya.
Sedangkan para pengikut Wahabi menamakan diri mereka dengan al-Muwahhiduun (orang-orang yang mentauhidkan Allah), meskipun sebagian mereka juga mengakui sebutan Wahabi.
Kedua paham di atas, Salafi & Wahabi,
sebenarnya memiliki hubungan tidak langsung yang cukup erat, yaitu
bahwa Muhammad bin Abdul Wahab adalah termasuk pengagum Ibnu Taimiyah
dan banyak terpengaruh oleh karya-karya tulis Ibnu Taimiyah. Itulah
mengapa kedua ajaran mereka memiliki kesamaan visi dan misi, yaitu
"Kembali kepada Al-Qur'an & Sunnah Rasulullah Saw. beserta para
Sahabat beliau," sehingga apa saja yang "mereka anggap" tidak ada
perintah atau anjurannya di dalam Al-Qur'an, Sunnah, atau atsar Sahabat
Nabi Saw., langsung mereka anggap sebagai bid'ah (perkara baru yang diada-adakan) yang
diharamkan dan dikategorikan sebagai kesesatan, betapapun bagusnya
bentuk suatu kegiatan keagamaan tersebut, dengan dasar hadis Nabi Saw. "… kullu bid'atin dhalalah, wa kullu dhalalatin fin-naar"
(setiap bid'ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan akan dimasukkan
ke dalam Neraka). Dengan visi dan misi inilah maka para pengikut mereka
di zaman ini menamai diri mereka dengan sebutan Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah (penganut Sunnah Nabi Muhammad Saw. & para Sahabat beliau) yang pada hakikatnya berbeda dari pengertian Ahlus-sunnah wal-Jama'ah yang dipahami oleh para ulama Islam di dunia (yaitu yang mempunyai hubungan historis dengan al-Asy'ari dan al-Maturidi ).
Visi
"kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Saw. serta para
Sahabatnya" tersebut telah mendorong mereka untuk melaksanakan sebuah
misi "memberantas Bid'ah & Khurafat". Sekilas visi & misi itu terlihat sangat bagus, namun dalam prakteknya ternyata seringkali menjadi sangat berlebihan. Mengapa? Karena semua bid'ah & khurafat yang mereka anggap sesat dan wajib diberantas itu mereka definisikan sendiri tanpa mengkompromikan dengan definisi atau penjelasan para ulama terdahulu.
Terbukti, pada masa hidupnya saja, baik Ibnu Taimiyah maupun Muhammad
bin Abdul Wahab, sudah dianggap "aneh" bahkan cenderung dianggap sesat
ajarannya oleh para ulama pengikut empat Mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali) yang keseluruhannya menganut paham ahlus-Sunnah wal-jama'ah.
Hal itu terjadi karena Ibnu Taimiyah kerapkali mengeluarkan fatwa-fatwa ganjil mengenai aqidah atau syari'at yang menyelisihi ijma'
para ulama, sehingga ia sering ditangkap, disidang, dan dipenjara,
sampai-sampai ia wafat di dalam penjara di Damaskus. Dan tercatat ada 60
ulama besar (baik yang sezaman dengan Ibnu Taimiyah maupun yang
sesudahnya) yang menulis pembahasan khusus untuk mengungkap kejanggalan
dan kekeliruan pada sebagian fatwa-fatwa Ibnu Taimiyah dalam begitu
banyak karyanya (lihat al-Maqaalaat as-Sunniyyah karya Syaikh Abdullah al-Harary).
Sedangkan
Muhammad bin Abdul Wahab yang datang belakangan jauh lebih beruntung.
Ia didukung oleh seorang Raja yang berhasil menguasai Mekkah (Hijaz)
yang bernama Muhammad bin Sa'ud atau lebih dikenal
dengan Ibnu Sa'ud (penaklukan Hijaz ke-I th. 1803-1813 M, penaklukan
ke-II th. 1925 M masa Raja Abdul Aziz bin Sa'ud dengan bantuan Inggris
sampai sekarang). Itulah mengapa Mekkah, Madinah dan sekitarnya sekarang
dikenal dengan "Saudi"/Sa'udi Arabia (dinisbatkan kepada Ibnu/bin Sa'ud atau Aalu Sa'ud/keluarga Sa'ud).
Dengan dukungan kekuasaan dan dana dari Raja Ibnu Sa'ud itulah maka
ajaran Wahabi menjadi paham wajib di Saudi Arabia, dan menyebar luas
sekaligus membuat resah umat Islam di negeri-negeri yang lain.
Mengapa Wahabi dianggap meresahkan?
Karena fatwa-fatwa ulama Wahabi tentang bid'ah dan khurafat yang
disebarluaskan itu seringkali berbenturan dengan adat istiadat atau
tradisi keagamaan umat Islam di masing-masing negeri, padahal tradisi
mereka itu telah berlangsung sejak puluhan bahkan ratusan tahun yang
lalu dan telah dijelaskan kebolehan atau keutamaannya oleh para ulama
ahlus-Sunnah wal-jama'ah. Tradisi keagamaan yang sering dianggap bid'ah
dan sesat itu di antaranya: Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw.,
tahlilan kematian, do'a dan zikir berjama'ah, ziarah kubur, tawassul,
membaca al-Qur'an di pekuburan, qunut shubuh, dan lain sebagainya yang
masing-masing memiiki dasar di dalam agama. Jelasnya, keresahan itu
muncul karena fatwa-fatwa para pengikut Muhammad bin Abdul Wahab
(Wahabi) tersebut bertentangan dengan fatwa-fatwa mayoritas ulama yang
dijadikan pedoman oleh mayoritas umat Islam di dunia. Akibatnya mereka menjadi seperti orang usil yang selalu menyalahkan dan mempermasalahkan amalan orang lain, lebih dari itu bahkan mereka menganggap sesat orang yang tidak sejalan dengan Wahabi.
(Untuk lebih jelas, baca "I'tiqad Ahlussunnah Wal-Jama'ah" karya KH. Siradjuddin Abbas, diterbitkan oleh Pustaka Tarbiyah Jakarta. Juga baca "Maqaalaat as-Sunniyyah fii Kasyfi Dhalaalaati Ibni Taimiyah", karya Syaikh Abdullah al-Harary, diterbitkan oleh Daarul-Masyaarii' al-Khairiyyah, Libanon).
Ajaran
Salafi Ibnu Taimiyah dilanjutkan oleh murid-muridnya, di antara yang
paling dikenal adalah Ibnul Qayyim al-Jauziyah. Sedangkan ajaran Wahabi
disebarluaskan oleh para ulama Wahabi yang diakui di Saudi Arabia,
yang paling dikenal di antaranya adalah: Nashiruddin al-Albani, Abdul
Aziz bin Baz, Shalih al-Utsaimin, Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Abdullah
bin Abdurrahman al-Jibrin, dan lain-lain. Namun begitu, kita berusaha
bersikap proporsional dalam menyikapi ajaran yang mereka sampaikan.
Artinya, apa yang baik dan sejalan dengan pendapat para ulama mayoritas
maka tidak kita kategorikan ke dalam penyimpangan atau kesesatan.
Perlu diketahui,
bahwa meskipun dasar kemunculannya berbeda, namun belakangan Salafi
& Wahabi seperti satu tubuh yang tidak bisa dibedakan, yaitu
sama-sama memandang sesat atau bid'ah terhadap acara Peringatan
Maulid Nabi Muhammad Saw., tahlilan kematian, ziarah kubur, tawassul,
menghadiahkan pahala kepada orang meninggal, berdo'a & berzikir
berjama'ah, bersalaman selesai shalat berjama'ah, membaca al-Qur'an di
pekuburan, berdo'a menghadap kuburan, dan lain sebagainya. Dan boleh dikatakan, bahwa Salafi & Wahabi sekarang sudah menjadi mazhab tersendiri yang lebih ekstrim dalam berfatwa ketimbang Ibnu Taimiyah atau Muhammad bin Abdul Wahab sendiri.
Di
Indonesia, fatwa-fatwa Salafi & Wahabi banyak disebarluaskan oleh
para mahasiswa atau sarjana yang sebagian besarnya adalah alumni
Perguruan Tinggi di Saudi Arabia atau mereka yang mendapat beasiswa di
lembaga pendidikan Saudi Arabia. Di samping itu, paham Wahabi juga
disebarluaskan melalui buku-buku terjemahan, yang kini menghiasi
berbagai toko buku atau stan-stan pameran buku. Bahkan, buku–buku mereka
juga dibagi-bagi secara gratis, baik melalui Atase Kedubes Saudi
Arabia, maupun lembaga pendidikan Saudi Arabia seperti LIPIA atau yang
lainnya. Buku-buku seperti itu juga dibagikan kepada semua Jama'ah Haji
secara gratis setiap tahunnya, akibatnya sebagian mereka mengalami
perang batin dalam menimbang-nimbang kebenaran.
Di
samping melalui buku-buku dan forum-forum kajian keagamaan, fatwa-fatwa
Wahabi & Salafi juga disebarluaskan melalui siaran radio, seperti:
Radio Dakta Bekasi (FM/107 Mhz), Radio Roja' Cileungsi (AM/756 Mhz),
dan Radio Fajri Bogor (FM/91,4 Mhz).
Di
Indonesia juga terdapat ormas-ormas Islam yang prinsip dasar atau
metodologi ajarannya sama atau hampir sama dengan Salafi & Wahabi
seperti Muhammadiyah, PERSIS, Al-Irsyad, PUI (Persatuan Umat Islam),
Paderi, Sumatra Tawalib, dan lain-lain (lihat Ensiklopedi Islam,
PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, jilid 4, hal. 205), hanya saja ada
sebagian yang tidak seekstrim mereka. Tetapi kadang sebagian anggota
ormas-ormas itupun memiliki sikap ekslusivisme yang sama dengan Salafi
& Wahabi, sehingga dalam kajian ini penulis tidak memisahkan mereka
sebagai kelompok tersendiri, dan menganggapnya sejenis dengan kaum
Salafi & Wahabi jauh lebih layak untuk sebuah pemahaman agama dengan
ciri yang sama, entah sebagian ciri atau keseluruhannya.
Dalam
kajian ini kami tidak ingin berpanjang kalam tentang Ibnu Taimiyah atau
Muhammad bin Abdul Wahab, menimbang keperluannya yang tidak terlalu
urgen dalam pembahasan ini.. Sebab sepertinya, para pengikut mereka
sekarang sudah lebih independen dalam berijtihad dan berfatwa mengenai
perkara-perkara baru yang mereka anggap bagian dari agama yang tidak
pernah ada di zaman Rasulullah Saw. atau para Shahabat beliau.. Bahkan
dalam beberapa hal mereka tidak sependapat dengan Ibnu Taimiyah &
Muhammad bin Abdul Wahab. Hal ini menunjukkan bahwa kaum Salafi dan
Wahabi sekarang ini hanya mengambil motto utama yang sangat global dari
Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahab, yaitu "kembali kepada al-Qur'an, Sunnah Rasulullah Saw., dan Sunnah para Shahabat beliau", sedang dalam perkara-perkara detailnya mereka cenderung pilih-piih.
Itulah
kenapa konsentrasi pembahasan ini lebih pada fatwa-fatwa ulama Salafi
dan Wahabi, di mana fatwa-fatwa itulah yang sering menjadi sumber
masalah bagi kerukunan hidup beragama antar umat Islam.
0 komentar:
Posting Komentar